JAKARTA -FPII,- Kamu tentu pernah melakukan screenshot atas obrolan di aplikasi pesan WhatsApp, Line, atau di aplikasi media sosial macam Instagram dan Facebook.
Hati-hati jika kamu hendak menyebarluaskan screenshot percakapan, karena apa yang kamu lakukan berpotensi melanggar aturan yang berlaku di Indonesia.
Melanggar atau tidak melanggarnya di sini tergantung dari isi pesan pada screenshot tersebut. Jika screenshot itu mengandung data pribadi seseorang, maka si penyebar berpotensi melanggar pasal 26 ayat 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU No. 19/2016 tentang Perubahan atas UU No. 11/2008 tentang ITE).
Pasal 26 ayat 1 pada UU ITE menyebutkan, "Kecuali ditentukan lain oleh Peraturan Perundang-undangan, penggunaan, setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan."
Kemudian di ayat 2 menjelaskan, "Setiap orang yang dilanggar haknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan berdasarkan Undang-Undang ini."
Berdasarkan penjelasan di atas, Lilik Adi Goenawan selaku Dewan Pakar Forum Pers Independent Indonesia (FPII) menggaris bawahi hal penting bahwa menyebar isi pesan yang sifatnya personal atau mengandung data pribadi lewat media elektronik, adalah hal yang dilarang.
"Jika isi pesan itu disebarluaskan kepada pihak ketiga, maka harus ada persetujuan dari orang yang terlibat dalam komunikasi tersebut." jelasnya.
Lalu, bagaimana ketika yang di-share adalah percakapan grup WhatsApp?
Lilik menjelaskan situasi tersebut tergantung pada status grup itu sendiri. Apakah grup WhatsApp itu bersifat privat? Atau publik? Semua itu tergantung kesepakatan para anggota yang ada dalam grup.
Jika grup WhatsApp ini dinyatakan publik, semua anggota bisa menyebarkan informasi dan tidak bisa dikenakan UU ITE.
"Saya menyarankan kepada admin grup WhatsApp untuk melakukan kesepakatan bersama dengan anggota lain terkait status grupnya: privat atau publik." Imbuhnya.
Pasal 26 UU ITE juga bisa dikaitkan dengan status yang dipublikasikan di Facebook, Instagram Stories, atau status media sosial lainnya, jika konten yang dipublikasi mengandung data pribadi seseorang, seperti nomor telepon, KTP, nama ibu kandung, dan lain sebagainya.
Apabila seseorang merasa dirugikan karena data pribadinya disinggung dalam publikasi screenshot yang disebar oleh lawan bicaranya, ia bisa memperkarakan si penyebar ke pengadilan melalui hukum perdata.
Si penggugat bisa meminta ganti rugi lewat jalur pengadilan perdata, asalkan punya bukti yang cukup kuat adanya data pribadi yang disalahgunakan atau disebarluaskan tanpa izin dirinya.
"Ya, ganti kerugian, pasal 26 mekanismenya perdata bukan denda dalam konteks pidana," ucap Dewan Pakar Presidium Forum Pers Independent Indonesia (FPII) Lilik Adi Goenawan kepada awak media pada Senin, (27/3/2023) di Unit V Reskrimum Polres Metro Tangerang Kota.
"Jadi harus ada bukti itu benar ada data pribadi dari orang yang mengajukan gugatan, dan benar itu disalahgunakan, artinya disebarluaskan tanpa izin si pemilik data." paparnya.
Maksud dari data pribadi itu sendiri dijelaskan dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik.
Data pribadi dijelaskan adalah data perseorangan tertentu yang disimpan, dirawat, dan dijaga kebenaran serta dilindungi kerahasiaannya.
Sementara data perseorangan tertentu adalah setiap keterangan yang benar dan nyata yang melekat dan dapat diidentifikasi, baik langsung maupun tidak langsung, pada masing-masing individu yang pemanfaatannya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menurut Lilik Adi Goenawan yang juga CEO PT. Jurnalis Nusantara Satu memandang bahwa pengertian data pribadi itu sendiri masih jadi perdebatan di level akademisi, hukum privasi, sampai pihak pemerintah dalam hal ini Kominfo (Kementerian Komunikasi dan Informatika).
Lilik berpendapat , data pribadi menyangkut soal hal-hal yang seharusnya dikontrol oleh pemiliknya untuk tidak bisa dikonsumsi oleh publik. Data yang dimaksud harus bersifat sensitif, seperti nama Ibu, nama anak, sekolah anak, nomor KTP, NIK, hingga nomor telepon.
Lilik sendiri mengambil sikap kritis terkait ketidakjelasan pada Pasal 26 UU ITE No. 19 Tahun 2016. Menurutnya data pribadi yang dikandung di dalamnya masih belum jelas dan menimbulkan tanda tanya besar bagi publik. Dia meminta agar pemerintah memberi kejelasan dan maksud soal apa itu data pribadi.
"Apa yang dilindungi pun tidak cukup jelas, lalu bagaimana mekanisme perlindungan hukumnya pun masih kurang jelas," tegas pria asal Ambarawa Kabupaten Semarang.
Kesadaran etika dalam dunia maya memang harus dijunjung tinggi oleh orang-orang yang memakainya.
Jika itu mengandung data pribadi, alangkah bijak jika data tersebut tidak dipindahtangankan secara semena-mena.
"Namun, jika hal itu terjadi, maka pemilik data bisa mengajukan ganti kerugian ke pengadilan perdata." pungkasnya. (Tim/Red)
*Sumber: Dewan Pakar Presidium FPII*